Jumat, 26 November 2010

Perceraian: No Way!!!

PERCERAIAN: NO WAY!
Oleh : Wilson, M.Th.

Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan pezinah akan dihakimi Allah. (Ibrani 13:4)
Sebuah lelucon teman menyebutkan: “perceraian tidak enak dibahas, dipraktikkan saja”. Nampaknya persoalan perceraian salah satu fenomena yang menarik, walaupun rumit menelaahnya, secara khusus di kalangan umat Kristen. Opsi yang sering mengemuka adalah: perceraian diperbolehkan asal ada alasan kuat seperti zinah, tidak cocok, bukan jodoh, ekonomi, solusi menyelesaikan konflik rumah tangga. Namun benarkah alasan tersebut berdasarkan fakta Alkitab? Atau diperbolehkankah perceraian itu terjadi di kalangan umat Kristen? Berikut hal-hal yang perlu umat Kristen pahami sehubungan dengan ancaman “perceraian” dalam keluarga:
A. Faktor Klasik Alasan Perceraian.
1. Pernikahan yang Dimulai dengan Emosional. Ketika pernikahan terjadi hanya karena faktor emosional seperti menikah karena sudah waktunya harus menikah, menikahi seseorang karena faktor fisik (cantik, gagah, berduit), menikah karena keinginan menyenangkan orang tua, menikah karena nafsu, dan sebagainya merupakan pernikahan yang didasarkan pada sikap emosional. Pernikahan seperti ini ibarat “seseorang yang membangun rumah di atas pasir” (Matius 7:26-27). Ketika datang badai dan angin kencang disertai hujan, maka rubuhlah “pondasi pernikahan itu”, dan hebatlah kerusakannya (perceraian).
2. Konflik Pernikahan yang Destruktif. Konflik pernikahan yang destruktif dapat disebabkan oleh hal-hal yang terjadi secara desktruktif pula pada hubungan pranikah. Akhirnya, seseorang menikahi pasangannya karena “terpaksa” telah hamil sebelum pemberkatan nikah dan itu perbuatan zinah, menikah namun telah melakukan hubungan layaknya suami istri (katanya: ini bukti cinta) ini juga zinah, kasus pemerkosaan atau pencabulan. Kisah ini akan gampang berlanjut menjadi bentuk konflik dalam pernikahan yang bersifat destruktif seperti pertengkaran hebat dalam rumah tangga, kekerasan terhadap istri atau suami (fisik dan emosional), dan perselingkuhan.
3. Adanya Permissiveness (Ijin Masyarakat). Permissiveness memiliki ranah yang luas, namun konteks di sini hanya terbatas pada beberapa hal, yaitu: a) masyarakat cenderung membiarkan perbuatan asusila terjadi dilingkungan mereka seperti pelacuran, kumpul kebo, dan hal-hal lain yang dapat memicu terjadinya seks bebas; b) pengawasan keluarga atau orang terdekat yang mulai longgar; 3) ijin bercerai oleh lembaga komunitas. Umpamanya lembaga adat memberikan legalitas terjadinya perceraian karena desakan keluarga dan pelaku perceraian; 4) perceraian “diijinkan” oleh pihak keluarga dengan membiarkan suami atau istri berjalan dengan jalannya masing-masing sampai ada efek jera.
B. TUHAN Melarang Perceraian.
Tuhan mengatakan apa dalam Alkitab tentang kehidupan pernikahan sehubungan dengan perceraian:
1. Pernikahan adalah mandat Tuhan. “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kejadian 2:24). “Demikianlah mereka bukan bukan dua lagi, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6). Istilah dalam Bahasa Yunani “dipersatukan dibaca: sunezeuchen) berarti disatuKUKkan dimana dua orang memasuki hubungan kesatuan, satu kuk yang diletakkan oleh TUHAN. Perceraian dapat terjadi, karena ada orang yang tidak mengerti, tidak merasa, dan tidak peduli bahwa di atas mandat (kuk) yang diberi TUHANlah pernikahan itu dijalankan. Ketika pernikahan disatukan atas dasar terpaksa, nafsu, budaya, ekonomi,dan sejenis, maka perceraian selalu ada di ambang pintu pernikahan. Apalagi, jika yang bersangkutan tidak sungguh bertobat dari dosanya, maka semakin lebarlah kemungkinan perceraian itu terjadi. Gereja memang meneguhkan pernikahan yang “bermasalahan”, tapi pengudusan hidup dikerjakan oleh Roh Kudus ke dalam individu yang bertobat. Sebab ada orang yang menganggap bahwa setelah segala sesuatu digiring ke gereja, pendeta, rohaniawan, maka kuduslah persoalan yang tidak kudus. Pandangan itu keliru, sebab kekudusan dikerjakan TUHAN Allah di dalam pribadi yang bertobat. Pernikahan yang kudus akan tetap langgeng, jika pribadi dalam pernikahan itu dikuduskan terus menerus dan pasti tidak akan terjadi perceraian.
2. Perceraian Karena Alasan Zinah. Kisah dalam Matius 5:31-32; 19:9 dimana perceraian diperbolehkan dengan alasan pasangan berbuat zinah telah ditafsirkan menurut selera dan kebutuhan orang-orang yang berniat bercerai. Istilah tersebut diungkapkan berikut: “Tetapi aku berkata kepadamu: setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah, ia menjadikan istrinya berzinah...” (Matius 5:31). Teks ini seolah-olah memberi legalitas untuk bercerai dengan alasan zinah. Ada baiknya teks ini dibahas berdasarkan istilah Yunani dari kata porneia), artinya secara literal “perbuatan tidak senonoh, percabulan, pornoaksi, barang najis, kecelaan, ketidaksetiaan dalam pernikahan”. Istilah ini dipakai dalam konteks yang beragam: a) Ketidaksetiaan dalam masa pertunangan dalam budaya Yahudi (Matius 1:18-19), ketika Yusuf hendak menceraikan Maria secara diam-diam ia mengira Maria tunangannya telah melakukan tindakan porneia (tidak setia sampai hamil); b) Istilah yang sama juga berakar pada kata epoikheusen) – berzina, dalam Matius 5:28 “...setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzina dengan dia di dalam hati”. Apakah “berzina” dalam kasus ini juga dapat dipakai untuk membenarkan perceraian. Jika jawabannya “ya”, maka hampir 100% laki-laki sedang digugat cerai oleh istrinya; c) Istilah “porneia” juga dipakai untuk menunjukan ketidaksetiaan dalam bentuk perzinahan jasmani. Jika istilah dipolitisir untuk membenarkan perceraian, maka angka perceraian akan lebih meningkat. Karena, hanya dengan mengaku telah berzinah; sengaja melakukan perzinahan untuk diketahui agar dapat diceraikan karena bosan dengan suami yang emosional, gaji kurang, tidak tampan, kurang uang, dan kurang perhatian maka orang seenaknya menuntut cerai.
Intinya, TUHAN melarang perceraian. Dengan alasan apapun perceraian di kalangan umat Tuhan tidak dibenarkan. Kecuali yang bersangkutan tidak terdapat dalam bilangan orang yang telah menerima keselamatan dalam TUHAN Yesus Kristus.
C. Solusinya:
1. Tetaplah hidup dengan komitmen perkawinan yang telah dipersatukan (dikukkan) oleh TUHAN.
2. Tetaplah hidup pernuh hormat dalam perkawinan, sebab TUHAN membenci perceraian (Maleakhi 2:16).
3. Jika porneia terjadi, hiduplah tetap dengan kasih, perdamaian, pengampunan, sebab untuk itulah TUHAN Allah memilih, memanggil, dan memberikan keselamatan kepada kita. Akhirnya, jangan bermain-main dengan ketidaksetiaan, karena akan menghancurkan apa yang telah dipersatukan oleh TUHAN Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar